PENANAMAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KRISIS IDEOLOGI BANGSA

PENANAMAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KRISIS IDEOLOGI BANGSA

Emi susanti,12102241029,pendidikan luar sekolah,emmi_susantii@ymail.com,085729971646



Abstraks
Kencangnya globalisasi dengan segala macam dampak yang ditimbulkan telah menerjang bangsa ini dengan intensitas begitu tinggi, sedikit banyak telah mempengaruhi perilaku masyarakat negeri ini ke arah tumbuhnya masyarakat kapitalis. Dampak dari  itu semua menyebabkan melencengnya perilaku dari masyarakat terhadap  ideologi bangsa Pancasila yang seharusnya sebagai pandangan dan pegangan hidup bangsa Indonesia itu. Eksisnya budaya impor yang mengusung beragam faham-faham ideologi dari luar itu, sedikit banyak telah merubah bangsa ini, hingga membuat lunturnya semangat kebangsaan dan pemahaman ideologi bangsanya sendiri dan tanpa sadar telah merubah pola pikir dan gaya hidup kearah kebarat-baratan bagian dari masyarakat lebih modern. Bangsa ini sebenarnya tidak menutup mata atas datangnya kebudayaan luar hadir  dan tumbuh di tengah-tengah masyarakat, namun dalam implementasinya itu perlu adanya pengkajian secara mendalam tentang baik dan buruknya, hal tersebut bertujuan sebagai filter terhadap budaya yang datang tidak mematikan budaya lokal, hal tersebut dikarenakan penerapan ideologi negara yang membedakannya. Hadirnya budaya barat yang telah menguasai perilaku bangsa ini merupakan berkuasanya budaya luar mempengaruhi dan menguasai serta mempermainkan jiwa-jiwa republik ini yang tak dibentengi dengan kuatnya penanaman ideologi Pancasila di dalam dirinya, membuat terciptanya perilaku masyarakat yang meleceng dari seharusnya seperti yang telah digariskan oleh     ideologi Pancasila. Berbagai macam ketimpangan yang berkembang di tengah masyarakat hingga menimbulkan lunturnya jatidiri bangsa itu berdampak pada keterpurukan bangsa ini ke dalam krisis ke krisis ideologi bangsa. Kenyataan ini disebabkan apa yang namanya ideologi Pancasila selama ini hanya diperlakukan sebagai  tema, slogan dalam setiap kesempatan bahkan tak luput dari hiasan semata tanpa memperdulikan lagi pengimplementasian pengamalannya. Keberadaan ideologi Pancasila pada kenyataannya telah kalah pamornya dengan ideologi-ideologi lain yang telah terserap oleh warganya, bersamaan dengan arus globalisasi yang berkembang, dan ini akan terus menggerogoti Pancasila lebih dalam lagi hingga akhirnya tumbang dan lenyap ditelan derasnya modernisasi. Jika hal ini tidak diantisipasi secara serius oleh seluruh komponen negeri ini, bukan tidak mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia akan rontok Ideologinya oleh masyarakatnya sendiri.
 Kata Kunci : Globalisasi, Krisis, Ideologi, Pancasila

A. Pendahuluan
Visi dari sistem demokrasi bangsa Indonesia, sudah terang dan jelas penggambarannya seperti yang telah dilahirkan dan diwariskan oleh para pendahulu pendiri bangsa ini yaitu ingin mewujudkan suatu pemerintahan yang mampu melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan ideologi bangsa Pancasila. Dalam penjelasannya itu telah diuraikan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta mewujudkan perdamaian ”abadi” baik dalam lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri  maupun lingkup wilayah dunia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima kalimat ini lebih dikenal dengan sebutan Lima Sila dari pemaknaan kata Pancasila telah menjadi satu-satunya ideologi sebagai pandangan dan pegangan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima Sila dari makna Pancasila tersebut, merupakan hasil pemikiran para tokoh pejuang bangsa yang telah membebaskan dari cengkraman para penjajah dan menjadi kehendak sekaligus suatu pernyataan sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dari Para pendahulu pendiri bangsa ini, sehingga Pancasila harus didudukan sebagai landasan orientasi dan pendekatan bahkan sebagai instrumen dalam segala macam bentuk praktik-praktik berdemokrasi  suatu pemerintahan negara yang bersih dan berwibawa demi terwujudnya cita-cita luhur bangsa yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai ideologi suatu bangsa yang menjadi pandangan dan pegangan hidup masyarakatnya, Pancasila haruslah bersifat universal mencakup segala macam nilai-nilai sosial dan budaya Indonesia serta menjadi orientasi dalam hidup oleh seluruh masyarakatnya. Sebagai ideologi bangsa, maka keberadaannya  selalu diimplementasikan ke dalam perilaku kehidupan dalam rangka berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Kalau dikaji dari butir-butir kelima sila dalam ideologi Pancasila tersebut, sebenarnya sudah mencakup gambaran pembentukan karakter manusia Indonesia yang ideal, sebagai mana yang diharapkan para penggali dari pancasila itu sendiri. Gambaran pembentukan manusia Indonesia seutuhnya itu, dapat diilustrasikan  Pada sila pertama tersirat bagaimana manusia Indonesia berhubungan dengan Tuhannya atau kepercayaannya. Pada sila kedua tergambar bagaimana manusia Indonesia harus bersikap hidup dengan orang lain sebagaimana layaknya manusia yang punya pikiran dan ahklak hingga dia bisa bersikap sebagai mahkluk yang tertinggi dibandingkan dengan mahkluk lainnya yaitu binatang. Sila ketiga menerangkan bagaimana manusia Indonesia menciptakan suatu pandangan betapa pentingnya arti persatuan dan kesatuan bangsa dari pada bercerai berai seperti pada pepatah bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh.  Sila keempat telah menegaskan bagaimana manusia Indonesia mengimplementasikan cara bersikap dan berpendapat serta memutuskan sesuatu menyangkut kepentingan umum secara bijak demi kelangsungan kehidupan berdemokrasi yang  terlindungi antara menyuarakan hak dan kewajibannya berimbang dalam mengimplementasikannya.   Pada sila kelima dijabarkan bagaimana manusia Indonesia mewujudkan suatu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Indonesia itu sendiri. Dari penjabaran kelima sila tersebut di atas, maka sudah sepantasnya bahwa Pancasila beserta kelima silanya itu layak dijadikan sebagai pandangan dan pegangan hidup serta dijadikan sebagai pembimbing dalam menciptakan kerangka berpikir untuk menjalankan demokrasi dan diimplementasikan dalam segala macam praktik kehidupan menyangkut berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Ideologi Pancasila akan terus hidup dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia dan akan  mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam situasi dan kondisi apapun, Apabila dari setiap sila-sila yang ada pada Pancasila itu, dimaknai, dihayati secara benar dan mendalam serta diamalkan dalam perilaku segala hal menyangkut kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, bukan hanya sekedar penciptaan kata-kata tema atau slogan dalam formalitas kegiatan semata. Keterpurukan dari bangsa selama ini dikarenakan oleh suatu penyebab diantaranya sikap pemaknaan terhadap sila-sila yang ada pada Pancasila itu, diimplementasikan oleh insan negeri ini hanya sebatas setengah hati saja
”Ketika terjadi krisis tentang jatidiri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek yang mereka pahami dan dengan serta merta caranya sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana, 2008).
Dalam situasi semacam ini masyarakat rawan denga tindakan-tindakan ke arah negatif, hal tersebut disebabkan tidak adanya pegang hidup yang kuat dalam dirinya, dan bukan tidak mungkin dapat kehilangan kendali diri hingga berdampak pada lunturnya jatidiri bangsa. Seiring dengan kencangnya arus globalisasi yang mengusung beragam ideologi dari dunia barat dengan intensitas tingginya penyebaran dalam situs virtual digital, dimana keberadaannya sulit dibendung lagi pergerakannya, secara berkala sedikit banyak mempengaruhi perilaku masyarakat negeri ini lebih banyak ke arah negatifnya daripda ke arah positifnya. Dampak dari itu semua telah terekam dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat, atas melencengnya perilaku dari masyarakat akibat pengaruh maraknya budaya impor yang telah mencuci otak bangsa ini hingga membuat lunturnya semangat kebangsaan dan pemahaman ideologi bangsanya sendiri. “Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak dibatinkannya pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana Rahardi, 2000).  

B. PEMBAHASAN
Ideologi Pancasila sendiri sudah jelas menerangkan bahwa di dalamnya terkadung makna terpeliharanya toleransi antar umat beragama, rakyat senantiasa menolong sesama pada yang lemah, nilai persatuan lebih diutamakan dengan memupuk tali persaudaraan lewat kegotong royongan dalam kegiatan, senantiasa bermusyawarah untuk mencari mufakat dalam memutuskan segala persoalan dan mewujudkan suatu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh warga negara yang ada di dalamnya. Tetapi dalam praktinya banyak penyalewengan-penyelewengan yang terjadi didalam setiap butir nilai-nilai pancasila.
 1. Penyelewengan Sila Pertama dari Pancasila
Suatu rintangan dalam implementasi dari Sila Pertama Pancasila adalah Kurangnya penghayatan secara mendalam masalah Ketuhanan Yang Maha Esa oleh kelompok-kelompok tertentu yang dikendalikan oleh seseorang atau organisasi tertentu. Sebagai mahkluk sosial tentunya manusia perlu menciptakan adanya saling berhubungan secara horizontal antar umat beragama dan tumbuhnya saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang ada hingga nantinya akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif serta terpeliharanya toleransi beragama. Karena masyarakatnya tidak dibekali dan dibentengi dengan sikap kerukunan dan toleransi antar umat beragama yang kuat, seperti yang dicanagkan dalam sila pertama dari Pancasila itu, maka terjadilah perbedaan interpretasi sesama individu atau kelompok, dimana suatu kehidupan beragama yang semula bertujuan menciptakan suatu keharmonisan lewat berbagai kelompok yang saling membantu antar sesamanya demi kemanusiaan, kini berbalik menjadi suatu malapetaka yang dapat mencemaskan berbagai umat beragama yang ada di Indonesia ini.
Kalau dilihat secara nyata dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat, belakangan ini sering terjadi benturan antar kelompok yang mengatas namakan agama dalam menyelesaikan sesuatu dan terkadang tidak ada kaitannya satu dengan yang lain, hingga menimbulkan tindakan anarkis yang memakan korban jiwa. Pudarnya pemahaman tentang toleransi umat beragama yang dicanangkan dalam Pancasila membuat tergoresnya kerukunan umat bergama tersebut hingga timbul kerusuhan yang mengatasnamakan agama.
 2. Penyelewengan Sila Kedua dari Pancasila
Suatu rintangan dalam implementasi dari Sila Kedua Pancasila adalah Banyaknya warga negara Indonesia yang sangat meremehkan dan mempermainkan orang lain tanpa ada rasa malu, seolah-olah suatu hal yang biasa disebabkan pengaruh dari budaya luar yang terus memprovokasi melalui situs-situs digital, sila kedua dari Pancasila itu memberikan makna dan sekaligus pencerahan kepada bangsa Indonesia agar selalu bertindak adil dalam segala aspek, dan senantiasa mempertimbangkan antara dirinya dengan orang lain sebagai layaknya manusia harus selalu berbuat bijak seperti yang diungkapkan oleh filosof Yuani Kuno yaitu Sokrates. Dalam ilmu psikologi dikenal dengan istilah empati, yakni kemampuan seseorang menempatkan diri sebagai orang lain dalam situasi dan kondisi apapun. Pengertian ini menjelaskan, bahwa seseorang diharapkan bisa mempertimbangkan dan membayangkan atas keberadaan orang lain sebagai dirinya sendiri dan menempatkan suatu perbuatannya antara yang dilakukan dan ditinggalkan, hal ini mengisyaratkan sesuatu yang dilakukan hendaknya sesuatu yang menimbulkan kesan kebaikkan dan yang ditinggalkan tentunya sesuatu yang mendatangkan keburukan. Dalam hidup di negara indonesia yang berideologi Pancasila tentunya setiap warga negaranya bisa memegang prinsip-prinsip serta kebiasaan-kebiasaan atau berbudaya yang mentradisi dengan menjunjung tinggi norma-norma kehidupan yang sudah menjadi suatu kesepakatan bersama sebagai budaya Indonesia dimana keberadaannya telah menjadi cerminan manusia Indonesia yang beradab. Jika manusia tidak bisa menempatkan posisinya dengan orang lain dalam sikap saling menghargai dan menghormati orang lain, maka akan terjadilah suatu kekontrasan makna yang ditimbulkan dan bukan tidak mungkin akan disebut sebagai manuasia yang tidak berperi kemanusiaan. Suatu kasus penyelewengan pada sila kedua ini tampak pada semakin banyaknya pelecehan terhadap orang lain dalam keragaman permasalahan, terserapnya perilaku sek bebas yang melanda generasi muda bangsa ini dalam setiap kesempatan adalah hasil pengaruh dari budaya luar yang telah membudaya di dalam masyarakat tanpa memperdulikan lagi sebab dan akibatnya. Globalisasi yang menyerang Indonesia dengan mengantarkan situs-situs pornografi dalam keragaman warna, begitu mudahnya diakses oleh masyarakat tanpa ada antisipasi kelayakannya sebagai bendungan dari pihak penguasa yang berwenang, termasuk pemberlakuan undang-undang yang mengatur beredarnya informasi tersebut, Kenyataan ini terbukti “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang berkuasa” (Graeme Barton, 2008), meskipun dampak yang ditimbulkan pada masyarakat bersifat negatif, semuanya tak mempedulikannya.
Praktik-praktik yang mengusung faham kapitalisme dan materialisme telah menguasai perekonomian negeri ini hingga masyarakatnya mempunyai kebiasaan bersikap konsumtif dan hedonis terutama kalangan menengah keatas yang selalu memprovokasi keadaan ini di berbagai jaringan media hingga kebiasaan tersebut menular ke kalangan di bawahnya. Para kelompok dominan dengan seenaknya telah mempermainkan pasar dan menciptakan komoditas baru lewat berbagai media yang telah terbentuk dalam strukturnya, sehingga posisi kaum pedagang kecil dan menengah negeri ini semakin terjepit dan tak berdaya. Perencanaan ini memang telah dirancang sebelumnya dengan membangun jaringan-jaringan yang kuat hingga kekuatan telah terbentuk dengan sendirinya, segala macam apa yang ada dalam pikirannya tentang “ide-ide itu dituangkan dalam instrumen-instrumen kapitalis sehingga akhirnya perilaku masyarakat menjadi bagian dari masyarakat kapitalis yang konsumtif serta dari sistem produksi itu sendiri” (Burhan Bungin, 2001 : 25). Minimnya rasa empati masyarakat terhadap sesamanya semakin memanjang, hal itu disebabkan kuatnya dampak dari arus globalisasi yang menerjang negeri ini. Betapa banyaknya penyelewengan dari sila-sila dari Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia hingga memunculkan sikap yang bengis pada masyarakat sampai munculnya tindak kekerasan  ditengah masyarakat. Faham Konsumerisme yang melahirkan sikap konsumtif melahirkan bangsa ini menjadi bangsa yang senang belanja hingga melahirkan tempat semacam mal tumbuh di mana-mana, hal ini mencerminkan bangsa yang hanya sekedar pemakai terutama produk luar, tanpa mau belajar menciptakan barang itu sendiri dengan standar luar. Sikap perilaku kebebasan yang melekat di kalangan remaja dewasa ini membuat generasi yang terlahir menjadi generasi yang rusak secara moral.
 3. Penyelewengan Sila Ketiga dari Pancasila
Suatu rintangan Implementasi dari Sila Ketiga Pancasila adalah Tergoresnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia dari sikap generasi muda yang cenderung mengaplikasikan kebudayaan luar dalam aktifitas kehidupan dibandingkan dengan kebudayaan Indonesia itu sendiri. Kenyataan ini tak lepas dari gencarnya arus globalisasi yang menerjang segala penjuru dunia dalam intensitas tinggi tanpa dibekali dengan idealisme yang kuat dari bangsanya, hingga budaya yang datang lalu masuk ke dalam jiwa sampai terbentuknya menjadi jatidiri baru yang mencerminkan hidup kebarat-baratan pada generasi muda saat ini. Dari sinilah cinta tanah air mulai pudar didalam dirinya,  didalam sila ketiga dari ”Pancasila itu sendiri sudah memberikan bahwa nilai Persatuan Indonesia dapat terbentuk dan diwujudkan dalam tiga konteks yang saling menyatu dan mengikat satu sama lainnya dalam membangun persatuan dan eksistensi sebagai bangsa yang kuat, diantaranya konteks psikologis, konteks sosial-politik dan konteks geografis” (Redi Panuju, 2011).
Kenyataan ini menegaskan secara konteks psikologis memberikan makna bahwa persatuan bangsa dapat terwujudkan bila masing-masing warga negara merasa mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, perlakuan yang sama lebih ditegaskan lagi pada illustrasi seperti dalam mengakses sumber-sumber kehidupan, misalnya memperoleh pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, mendapatkan perlindungan hukum dan yang lainnya. Terhapusnya diskriminasi antar warga negara, sehingga tidak ada lagi penggolongan kelas warga negara antara kelas tinggi dan kelas rendah antara kelas priyayi atau darah biru dan rakyat miskindan antara pendidikan tinggi dan pendidikan rendah. Demikian juga dalam konteks sosial-politik makna persatuan bisa terwujudkan dengan baik jika setiap warga negaranya turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan sosial masyarakat, bergaul pada semua golongan hingga terciptanya kerukunan warga tanpa membeda-bedakan suku, agama serta status sosial. Setiap warga negara dituntut untuk berpartisipasi dalam kehidupan berdemokrasi tanpa ada unsur paksaan antar sesamanya. Nilai kesadaran dari setiap warga negara sangat berarti dan turut menentukan keberhasilan dari terwujudnya demokratisasi bangsa demi berjalannya roda pemerintahan yang melindungi setiap warganya. Sedangkan konteks geografis menggambarkan atas tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga bentuknya. Setiap warga negara dituntut untuk mencintai kepada negaranya dalam situasi dan kondisi apapun juga dan bukan sekedar hanya ucapan atau slogan belaka, melainkan dengan suatu tindakan yang nyata dalam kehidupan. Karena ini bukan hanya tanggung jawab dari TNI saja, tetapi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini bisa terjadi dari kuatnya pengaruh globalisasi yang tak bisa terbendungkan lagi dengan membawa Faham-faham barat telah menerjang negeri ini. Dikarenakan tidak dibentengi dengan kuatnya ideologi bangsa pada setiap warga negara, akhirnya berdampak pada pudarnya nilai-nilai budaya Indonesia yang mencerminkan sikap tolong menolong antar sesamanya, nilai gotong royong, tegang rasa. Demikian juga dalam konteks sosial  politik, sebagian besar masyarakat tak mau lagi mempedulikannya dan munculnya sikap apatis masyarakat kehidupan demokratisasi di Indonesia, dikarenakan tidak banyak berpihak kepadanya ditambah lagi faktor atas penyelenggaraannya yang kurang sportifitas dari para peserta pemilu. Penyimpangan yang terjadi di masyarakat adalah banyaknya masyarakat di negeri ini yang bersikap tidak memandang lagi etika membuat pudarnya rasa persatuan di Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan sesamanya melalui tawuran pelajar, mahasiswa bahkan masyarakat umum sehingga negara menjadi kacau balau. Demikian dalam menjalankan hukum, hukum pada kenyataannya dipermainkan oleh orang yang punya uang sehingga muncul mafia hukum di Indonesia.
 4. Penyelewengan Sila Keempat dari Pancasila
Suatu penyelewengan Implementasi dari Sila Keempat Pancasila adalah Banyaknya keputusan dari penyelenggara negara tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, tetapi lebih berpihak pada kepentingan kelompok atau partai pemenang pemilu. Demikian juga dalam memutuskan suatu permasalahan yang menyangkut kehidupan orang banyak dimana diharapkan terjadi suatu kemufakatan, namun dalam implementasinya penuh dengan intrik-intrik tertentu dalam pola kerjanya dan bekerjasama memperhitungkan bagi hasil sesamanya hingga menimbulkan suatu silang pendapat dan dengan demikian hasil akhir akan diperebutkan melalui pengambilan suara terbanyak. Kata musyawarah mufakat disini hanya sebagai kedok dalam berkonstitusi belaka. Penggambaran sila keempat ini sebenarnya telah memberikan penjelasan bahwa tafsir implementasi operasionalnya telah diarahkan pada bagaimana seluruh sumber daya yang tersedia itu, dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk pemberdayaan dan kemakmuran rakyat. Kata hikmah dan kebijaksanaan mempunyai dimensi makna sebagai masyarakat yang mampu menarik pelajaran hingga pada akhirnya mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bahkan sebagai pandangan sekaligus sebagai tindakan atas nilai-nilai luhur bangsa ke dalam suatu kehidupan. Kata kebijaksanaan memberikan gambaran agar kita selalu bersikap bijak dalam bermasyarakat senantiasa bertindak arif atau tegang rasa antar sesamanya. Sementara Permusyawaratan dan perwakilan memberikan bayangan bahwa permusyawaratan merupakan pendekatan suatu konsensus dalam menyelesaikan suatu masalah yang lebih menitik beratkan pada nilai kebersamaan dalam kemenangan. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis bahwa nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa” (John Storey, 2003) dengan demikian apa yang telah direncanakan dalam pola struktur pengembangannya itu bisa bergerak dengan leluasa tanpa ada persaingan berati. Cara berpikir orang-orang seperti inilah sebenarnya yang menyebabkan terpuruknya negeri ini dalam taraf yang memprihatinkan, hingga rakyat susah hidup di negerinya sendiri yang dikenal berlimpah dengan kekayaan alamnya itu.
 Sila keempat dari Pancasila mengajarkan kemufakatan dalam membahas suatu permasalahan, kini diwarnai dengan kekisruhan dalam menjalankan suatu pertemuan hingga menimbulkan suatu ketegangan diakibatkan masing-masing tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan di tingkat lembaga tinggi negara itu juga diwarnai keributan dalam sidang paripurna.
5. Penyelewengan Sila Kelima dari Pancasila
Suatu penyelewengan implementasi dari Sila Kelima Pancasila adalah Berkuasanya kelas-kelas dominan yang menguasai pengendalian pasar perekonomian Indonesia semakin terpuruknya jalan perekonomian kerakyatan yang mendukung tumbuhnya industri kecil menengah semakin suram jalannya. Angan-angan rakyat untuk mendambakan hidup sejahtera demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan jalan dukungan terealisasinya perkonomian kerakyatan itu, semakin jauh dari harapan rakyat. Karena pada kenyataannya kesejahteraan hanya bisa dinikmati sebagian kecil dari kelompok rakyat yang telah dekat dengan kekuasaan, sehingga orang-orang ini dengan leluasanya mencampur adukkan antara kepentingan sendiri atau kelompoknya dengan kepentingan rakyat. Dalam perlakuan hukumpun, rasa ketidak adilan telah terbuka lebar, hukum hanya menyentuh bagi masyarakat kelas bawah saja yang dipermasalahkan sementara kelas dominan dengan leluasanya mempermainkan hukum untuk tunduk dan menurut aturan permainan uang sebagai alat atau senjata dalam menutupi perkaranya. Berbicara masalah keadilan berperannya hukum dalam kehidupan adalah semu belaka, karena hukum itu sendiri sudah menjadi alat komoditas bagi mereka-mereka yang serakah dengan kekuasaan.
Perwujudan pada sila ini sebenarnya memberikan gambaran kepada kita, bahwa para penguasa negeri ini harus senantiasa bertindak arif untuk memberikan rasa keadilan yang sama pada seluruh masyarakat Indonesia sebagai mana yang tercantum dalam ideologi Pancasila yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bagi seluruh warga Republik Indonesia baik sebagai penyelenggaranya maupun rakyatnya. Lewat tangan pemerintah dengan para lembaga tinggi negara yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan undang-undang tidak pilih kasih sesama warga negara, dan harus bertindak tegas pada semua insan penghuni negeri ini. Suatu contoh untuk mengilustrasikan dalam konteks hukum, pemberlakukan hukum harus menyentuh pada semua orang yang ada di Republik ini tanpa pandang bulu. Dalam rangka mengimplementasikannya itu, tidak ada orang atau kelompok manapun apakah kelas atas atau kelas bawah bahkan kelas, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Jadi terwujudnya ”cita-cita para pendiri bangsa ini sudah jelas adalah seluruh tumpah darah bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan lahir dan batin, sehingga masyarakat tidak ada yang tertekan oleh pihak manapun dan bisa menikmati kehidupan yang layak, dengan demikian rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang diimpikan dapat terwujudkan dengan baik” (Redi Panuju, 2011). Rasa keadilan selama ini hanya dinikmati oleh kalangan minoritas yang dekat dengan kekuasaan belaka. Kenyataan ini terbukti dan bukan menjadi suatu rahasia lagi setelah para pelaku tertangkap dan dihadapkan ke meja hijau dengan tuduhan penyuapan guna melancarkan aksi, ini berati bahwa hukum di negeri ini telah dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai uang berlimpah. Namun apa yang terjadi, penanganan kasusnyapun mendapat intervensi dari berbagai macam pihak meskipun hal itu tidak sulit untuk dilacak kebenarannya, penegakkan hukum dengan berorientasi pada sikap tanpa pandang bulu di negeri ini, menyebabkan rasa keadilan jauh dari rakyat khususnya masyarakat kecil yang tidak mengerti hukum. Harapan seluruh rakyat Indonesia keadilan tercipta hingga masyarakat menikmati arti kemerdekaan dan kemakmuran hidup, tetapi pada kenyataannya kemiskinan masih juga melanda negeri ini.
C. Penutup
Kekuatan arus globalisasi yang bergulir di tengah masyarakat hingga saat ini dengan segala dampaknya, akan terus berhembus seperti angin yang kencang dan menerjang apa saja yang ada didepannya. Demikian juga dengan peradaban dari luar akan terus hadir bersamaan dengan berhembusnya arus globalisasi beserta dampak yang akan ditimbulkannya itu, akan selalu mengacam kebudayaan kita yang terkenal santun dan penuh makna ketimuran di bawa tameng Garuda pancasila melalui jejaring cyber multimedia digital dan akan menembus jiwa-jiwa penggunanya dan tanpa sadar perilaku kita akan selalu digerogoti oleh faham-faham berbagai multiisme itu dan tanpa disadari kita terbawa arus olehnya. Kita tidak menutup mata atas datangnya kebudayaan luar hadir di tengah-tengah kita, namun perlu adanya pengkajian secara mendalam tentang baik dan buruknya, hal tersebut dikarenakan ideologi negara yang membedakannya. Hadirnya “Budaya Populer” yang menguasai perilaku insan bangsa ini dewasa ini adalah sebagai jilmaan atas berkuasanya budaya luar mempengaruhi dan menguasai jiwa-jiwa bangsa ini yang tak dibentengi dengan kuatnya ideologi Pancasila di dalam dirinya hingga menghasilkan manusia-manusia yang berperilaku diluar kehendak dari makna Pancasila itu sendiri, hingga bangsa ini menjadi bangsa yang hancur dalam kelakuan dan hasilnya adalah timbulnya penyelewengan terhadap Ideologi Pancasila yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bangsa Indonesia ini. Dari melencengnya implementasi itu menyebabkan bangsa ini tertimpa krisis multi dimensi dalam segala macam persoalan yang begitu rumit untuk diluruskan. Persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga sekarang ini adalah kurangnya pembudayaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancsila yang tidak berjalan secara efektif dan mendasar oleh semua warga Negara yang mengaku dirinya orang Indonesia. Pancasila dalam hafalan, mayoritas rakyat Indonesia hafal di luar kepala, pada kenyataannya keberadaan pancasila kalah pamornya dengan budaya luar yang telah masuk di negeri ini hingga kalau membahas Pancasila mereka menganggapnya suatu hal yang kuno, produk lama, pancasila tidak dapat muncul keberadaannya dalam ruang dan perilaku yang nyata dari setiap warga negara negeri ini. Keberadaan Pancasila selama ini hadir hanyalah sebagai tema dan semboyan semata-mata dalam setiap perilaku kehidupan masyarakat. Kemunculan semangat kebangsaan itu akan hadir dengan sendirinya, selama nilai-nilai Pancasila itu dimaknai secara mendalam dan menyerap dalam jiwa dan raga serta dilaksanakan secara konsisten oleh setiap warga negara Indonesia. Para pendahulu pendiri bangsa ini telah bertahun tahun mengujinya, kalaupun selama ini tidak bisa menunjukkan hasilnya dengan sebagaimana mestinya itu, dikarenakan orang atau para penyelenggara yang mengelolahnya tidak mampu mengaktualisasikan berdasarkan metodologi secara benar, dan bukan Pancasilanya yang dipersalahkan. Pragdigma masyarakat selama ini dalam menyikapi Pancasila selalu bersikap sinis terhadapnya, ini harus diluruskan dan di arahkan ke jalan yang benar, sehingga penyelenggara Negara dan masyarakat bisa menghayati dan mengamalkannya secara  konsisten agar bangsa ini bisa bangkit kembali dari keterpurukannya begitu dalam. Sejalan dengan hal itu maka perlu adanya upaya pembangunan jatidiri bangsa pada setiap warga negara Indonesia,  karena dengan memiliki jatidiri bangsa  berlandaskan Pancasila itulah, maka  kemandirian suatu bangsa akan tercipta dengan sendirinya. Kesuksesan suatu bangsa dalam membangun peradabannya adalah belajar dari kesuksesan bangsa lain dalam membangun peradabannya itu. Ada suatu istilah bernama “Local Genius” yaitu kemampuan suatu bangsa untuk menerima kebudayaan bangsa lain, kemudian disesuaikan dengan kepribadian bangsa itu sendiri hingga melahirkan suatu kebudayaan baru tanpa menghilangkan jatidiri bangsa itu sendiri.
D. Daftar Pustaka :
Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Perabdban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Storey, Jonh. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogyakarta: Qalam.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Marlin,  Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion.Canada: Broadview Press.
Ellul,  Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
Naya Sujana. I Nyoman dan Lasmono Askandar (ed). 2005. Jatidiri Bangsa Indonesia. Surabaya: DHD 45 Jawa Timur.
Panuju, Redi. 2011. Studi Politik Oposisi dan Demokrasi. Yogyakarta : Interprebook










Comments

Popular Posts