PENANAMAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KRISIS IDEOLOGI BANGSA
PENANAMAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KRISIS
IDEOLOGI BANGSA
Emi susanti,12102241029,pendidikan
luar sekolah,emmi_susantii@ymail.com,085729971646
Abstraks
Kencangnya
globalisasi dengan segala macam dampak yang ditimbulkan telah menerjang bangsa
ini dengan intensitas begitu tinggi, sedikit banyak telah mempengaruhi perilaku
masyarakat negeri ini ke arah tumbuhnya masyarakat kapitalis. Dampak dari
itu semua menyebabkan melencengnya perilaku dari masyarakat terhadap
ideologi bangsa Pancasila yang seharusnya sebagai pandangan dan pegangan hidup
bangsa Indonesia itu. Eksisnya budaya impor yang mengusung beragam faham-faham
ideologi dari luar itu, sedikit banyak telah merubah bangsa ini, hingga
membuat lunturnya semangat kebangsaan dan pemahaman ideologi bangsanya sendiri
dan tanpa sadar telah merubah pola pikir dan gaya hidup kearah kebarat-baratan
bagian dari masyarakat lebih modern. Bangsa ini sebenarnya tidak menutup mata
atas datangnya kebudayaan luar hadir dan tumbuh di tengah-tengah
masyarakat, namun dalam implementasinya itu perlu adanya pengkajian secara
mendalam tentang baik dan buruknya, hal tersebut bertujuan sebagai filter
terhadap budaya yang datang tidak mematikan budaya lokal, hal tersebut
dikarenakan penerapan ideologi negara yang membedakannya. Hadirnya budaya barat yang telah
menguasai perilaku bangsa ini merupakan berkuasanya budaya luar mempengaruhi
dan menguasai serta mempermainkan jiwa-jiwa republik ini yang tak dibentengi
dengan kuatnya penanaman ideologi Pancasila di dalam dirinya, membuat
terciptanya perilaku masyarakat yang meleceng dari seharusnya seperti yang
telah digariskan oleh ideologi Pancasila.
Berbagai macam ketimpangan yang berkembang di tengah masyarakat hingga
menimbulkan lunturnya jatidiri bangsa itu berdampak pada keterpurukan bangsa
ini ke dalam krisis ke krisis ideologi bangsa. Kenyataan ini disebabkan apa
yang namanya ideologi Pancasila selama ini hanya diperlakukan sebagai
tema, slogan dalam setiap kesempatan bahkan tak luput dari hiasan semata tanpa
memperdulikan lagi pengimplementasian pengamalannya. Keberadaan ideologi
Pancasila pada kenyataannya telah kalah pamornya dengan ideologi-ideologi lain
yang telah terserap oleh warganya, bersamaan dengan arus globalisasi yang
berkembang, dan ini akan terus menggerogoti Pancasila lebih dalam lagi hingga
akhirnya tumbang dan lenyap ditelan derasnya modernisasi. Jika hal ini tidak
diantisipasi secara serius oleh seluruh komponen negeri ini, bukan tidak
mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia akan rontok Ideologinya oleh
masyarakatnya sendiri.
Kata Kunci :
Globalisasi, Krisis, Ideologi, PancasilaA. Pendahuluan
Visi dari
sistem demokrasi bangsa Indonesia, sudah terang dan jelas penggambarannya
seperti yang telah dilahirkan dan diwariskan oleh para pendahulu pendiri bangsa
ini yaitu ingin mewujudkan suatu pemerintahan yang mampu melindungi segenap
tumpah darah bangsa Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan ideologi bangsa Pancasila. Dalam penjelasannya itu telah diuraikan,
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan memajukan kesejateraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta mewujudkan perdamaian ”abadi”
baik dalam lingkup wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri
maupun lingkup wilayah dunia, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan dan Keadilan Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima kalimat ini lebih dikenal dengan sebutan Lima
Sila dari pemaknaan kata Pancasila telah menjadi satu-satunya ideologi sebagai
pandangan dan pegangan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima Sila dari
makna Pancasila tersebut, merupakan hasil pemikiran para tokoh pejuang bangsa
yang telah membebaskan dari cengkraman para penjajah dan menjadi kehendak
sekaligus suatu pernyataan sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dari Para
pendahulu pendiri bangsa ini, sehingga Pancasila harus didudukan sebagai
landasan orientasi dan pendekatan bahkan sebagai instrumen dalam segala macam
bentuk praktik-praktik berdemokrasi suatu pemerintahan negara yang bersih
dan berwibawa demi terwujudnya cita-cita luhur bangsa yaitu untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai
ideologi suatu bangsa yang menjadi pandangan dan pegangan hidup masyarakatnya,
Pancasila haruslah bersifat universal mencakup segala macam nilai-nilai sosial
dan budaya Indonesia serta menjadi orientasi dalam hidup oleh seluruh
masyarakatnya. Sebagai ideologi bangsa, maka keberadaannya selalu
diimplementasikan ke dalam perilaku kehidupan dalam rangka berbangsa, bernegara
dan bermasyarakat. Kalau dikaji dari butir-butir kelima sila dalam ideologi
Pancasila tersebut, sebenarnya sudah mencakup gambaran pembentukan karakter
manusia Indonesia yang ideal, sebagai mana yang diharapkan para penggali dari
pancasila itu sendiri. Gambaran pembentukan manusia Indonesia seutuhnya itu,
dapat diilustrasikan Pada sila pertama tersirat bagaimana manusia
Indonesia berhubungan dengan Tuhannya atau kepercayaannya. Pada sila kedua
tergambar bagaimana manusia Indonesia harus bersikap hidup dengan orang lain
sebagaimana layaknya manusia yang punya pikiran dan ahklak hingga dia bisa
bersikap sebagai mahkluk yang tertinggi dibandingkan dengan mahkluk lainnya
yaitu binatang. Sila ketiga menerangkan bagaimana manusia Indonesia menciptakan suatu pandangan betapa pentingnya
arti persatuan dan kesatuan bangsa dari pada bercerai berai seperti pada
pepatah bersatu kita teguh dan bercerai kita runtuh. Sila keempat telah
menegaskan bagaimana manusia Indonesia mengimplementasikan cara bersikap dan
berpendapat serta memutuskan sesuatu menyangkut kepentingan umum secara bijak
demi kelangsungan kehidupan berdemokrasi yang terlindungi antara
menyuarakan hak dan kewajibannya berimbang dalam
mengimplementasikannya. Pada sila kelima dijabarkan bagaimana
manusia Indonesia mewujudkan suatu keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
masyarakat Indonesia itu sendiri. Dari penjabaran kelima sila tersebut di atas,
maka sudah sepantasnya bahwa Pancasila beserta kelima silanya itu layak
dijadikan sebagai pandangan dan pegangan hidup serta dijadikan sebagai
pembimbing dalam menciptakan kerangka berpikir untuk menjalankan demokrasi dan
diimplementasikan dalam segala macam praktik kehidupan menyangkut berbangsa,
bernegara dan bermasyarakat di dalam Negara kesatuan Republik Indonesia
tercinta ini.
Ideologi
Pancasila akan terus hidup dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia dan akan
mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam situasi dan kondisi
apapun, Apabila dari setiap sila-sila yang ada pada Pancasila itu, dimaknai,
dihayati secara benar dan mendalam serta diamalkan dalam perilaku segala hal
menyangkut kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, bukan hanya
sekedar penciptaan kata-kata tema atau slogan dalam formalitas kegiatan semata.
Keterpurukan dari bangsa selama ini dikarenakan oleh suatu penyebab diantaranya
sikap pemaknaan terhadap sila-sila yang ada pada Pancasila itu,
diimplementasikan oleh insan negeri ini hanya sebatas setengah hati saja
”Ketika terjadi
krisis tentang jatidiri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang
ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba
mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek
yang mereka pahami dan dengan serta merta caranya sendiri, mereka terapkan
dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana, 2008).
Dalam situasi
semacam ini masyarakat rawan denga tindakan-tindakan ke arah negatif, hal
tersebut disebabkan tidak adanya pegang hidup yang kuat dalam dirinya, dan
bukan tidak mungkin dapat kehilangan kendali diri hingga berdampak pada
lunturnya jatidiri bangsa. Seiring dengan kencangnya arus globalisasi yang
mengusung beragam ideologi dari dunia barat dengan intensitas tingginya
penyebaran dalam situs virtual digital, dimana keberadaannya sulit dibendung
lagi pergerakannya, secara berkala sedikit banyak mempengaruhi perilaku
masyarakat negeri ini lebih banyak ke arah negatifnya daripda ke arah
positifnya. Dampak dari itu semua telah terekam dalam realitas kehidupan di
tengah masyarakat, atas melencengnya perilaku dari masyarakat akibat pengaruh maraknya budaya impor yang
telah mencuci otak bangsa ini hingga membuat lunturnya semangat kebangsaan dan
pemahaman ideologi bangsanya sendiri. “Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan
tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap
yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak dibatinkannya pilar-pilar
kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana
Rahardi, 2000).
B. PEMBAHASAN
Ideologi
Pancasila sendiri sudah jelas menerangkan bahwa di dalamnya terkadung makna
terpeliharanya toleransi antar umat beragama, rakyat senantiasa menolong sesama
pada yang lemah, nilai persatuan lebih diutamakan dengan memupuk tali
persaudaraan lewat kegotong royongan dalam kegiatan, senantiasa bermusyawarah
untuk mencari mufakat dalam memutuskan segala persoalan dan mewujudkan suatu
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh warga negara yang ada di dalamnya. Tetapi dalam praktinya banyak
penyalewengan-penyelewengan yang terjadi didalam setiap butir nilai-nilai
pancasila.
1.
Penyelewengan Sila Pertama dari Pancasila
Suatu rintangan
dalam implementasi dari Sila Pertama Pancasila adalah Kurangnya penghayatan
secara mendalam masalah Ketuhanan Yang Maha Esa oleh kelompok-kelompok tertentu
yang dikendalikan oleh seseorang atau organisasi tertentu. Sebagai mahkluk sosial
tentunya manusia perlu menciptakan adanya saling berhubungan secara horizontal
antar umat beragama dan tumbuhnya saling hormat menghormati antar pemeluk agama yang
ada hingga nantinya akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif serta
terpeliharanya toleransi beragama. Karena masyarakatnya tidak dibekali dan
dibentengi dengan sikap kerukunan dan toleransi antar umat beragama yang kuat,
seperti yang dicanagkan dalam sila pertama dari Pancasila itu, maka terjadilah perbedaan interpretasi
sesama individu atau kelompok, dimana suatu kehidupan beragama yang semula
bertujuan menciptakan suatu keharmonisan lewat berbagai kelompok yang saling
membantu antar sesamanya demi kemanusiaan, kini berbalik menjadi suatu
malapetaka yang dapat mencemaskan berbagai umat beragama yang ada di Indonesia
ini.
Kalau dilihat
secara nyata dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat, belakangan ini
sering terjadi benturan antar kelompok yang mengatas namakan agama dalam
menyelesaikan sesuatu dan terkadang tidak ada kaitannya satu dengan yang lain, hingga menimbulkan tindakan anarkis
yang memakan korban jiwa. Pudarnya pemahaman tentang toleransi umat beragama
yang dicanangkan
dalam Pancasila membuat tergoresnya kerukunan umat bergama tersebut hingga
timbul kerusuhan yang mengatasnamakan agama.
2. Penyelewengan Sila Kedua dari Pancasila
Suatu rintangan
dalam implementasi dari Sila Kedua Pancasila adalah Banyaknya warga negara
Indonesia yang sangat meremehkan dan mempermainkan orang lain tanpa ada rasa malu,
seolah-olah suatu hal yang biasa disebabkan pengaruh dari budaya luar yang
terus memprovokasi melalui situs-situs digital, sila kedua dari Pancasila itu
memberikan makna dan sekaligus pencerahan kepada bangsa Indonesia agar selalu bertindak adil dalam
segala aspek, dan senantiasa mempertimbangkan antara dirinya dengan orang lain
sebagai layaknya manusia harus selalu berbuat bijak seperti yang diungkapkan
oleh filosof Yuani Kuno yaitu Sokrates. Dalam ilmu psikologi dikenal dengan
istilah empati, yakni kemampuan seseorang menempatkan diri sebagai orang lain
dalam situasi dan kondisi apapun. Pengertian ini menjelaskan, bahwa seseorang
diharapkan bisa mempertimbangkan dan membayangkan atas keberadaan orang lain
sebagai dirinya sendiri dan menempatkan suatu perbuatannya antara yang
dilakukan dan ditinggalkan, hal ini mengisyaratkan sesuatu yang dilakukan
hendaknya sesuatu yang menimbulkan kesan kebaikkan dan yang ditinggalkan
tentunya sesuatu yang mendatangkan keburukan. Dalam hidup di negara indonesia yang berideologi Pancasila tentunya setiap warga negaranya bisa memegang
prinsip-prinsip serta kebiasaan-kebiasaan atau berbudaya yang mentradisi dengan
menjunjung tinggi norma-norma kehidupan yang sudah menjadi suatu kesepakatan bersama sebagai budaya
Indonesia dimana keberadaannya telah menjadi cerminan manusia Indonesia yang
beradab. Jika manusia tidak bisa menempatkan posisinya dengan orang lain dalam sikap
saling menghargai dan menghormati orang lain, maka akan terjadilah suatu
kekontrasan makna yang ditimbulkan dan bukan tidak mungkin akan disebut sebagai
manuasia yang tidak berperi
kemanusiaan. Suatu kasus penyelewengan pada sila kedua
ini tampak pada semakin banyaknya pelecehan terhadap orang lain dalam keragaman
permasalahan, terserapnya perilaku sek bebas yang melanda generasi muda bangsa
ini dalam setiap kesempatan adalah hasil pengaruh dari budaya luar yang telah
membudaya di dalam masyarakat tanpa memperdulikan lagi sebab dan akibatnya. Globalisasi yang
menyerang Indonesia dengan mengantarkan situs-situs pornografi dalam keragaman
warna, begitu mudahnya diakses oleh masyarakat tanpa ada antisipasi
kelayakannya sebagai bendungan dari pihak penguasa yang berwenang, termasuk
pemberlakuan undang-undang yang mengatur beredarnya informasi tersebut, Kenyataan ini
terbukti “bahwa kekuasaan media diterapkan secara berkolusi dengan kelas yang
berkuasa” (Graeme Barton, 2008), meskipun dampak yang ditimbulkan pada
masyarakat bersifat negatif, semuanya tak mempedulikannya.
Praktik-praktik
yang mengusung faham kapitalisme dan materialisme telah menguasai perekonomian
negeri ini hingga masyarakatnya mempunyai kebiasaan bersikap konsumtif dan
hedonis terutama kalangan menengah keatas yang selalu memprovokasi keadaan ini
di berbagai jaringan media hingga kebiasaan
tersebut menular ke kalangan di bawahnya. Para kelompok
dominan dengan seenaknya telah mempermainkan pasar dan menciptakan komoditas
baru lewat berbagai media yang telah terbentuk dalam strukturnya, sehingga
posisi kaum pedagang kecil dan menengah negeri ini semakin terjepit dan tak berdaya. Perencanaan ini
memang telah dirancang sebelumnya dengan membangun jaringan-jaringan yang kuat
hingga kekuatan telah terbentuk dengan sendirinya, segala macam apa yang ada
dalam pikirannya tentang “ide-ide itu dituangkan dalam instrumen-instrumen
kapitalis sehingga akhirnya perilaku masyarakat menjadi bagian dari masyarakat
kapitalis yang konsumtif serta dari sistem produksi itu sendiri” (Burhan
Bungin, 2001 : 25). Minimnya rasa empati masyarakat terhadap sesamanya semakin
memanjang, hal itu disebabkan kuatnya dampak dari arus globalisasi yang
menerjang negeri ini. Betapa banyaknya penyelewengan dari sila-sila dari Pancasila sebagai
Ideologi bangsa Indonesia hingga memunculkan sikap yang bengis pada masyarakat
sampai munculnya tindak kekerasan ditengah masyarakat. Faham
Konsumerisme yang melahirkan sikap konsumtif melahirkan bangsa ini menjadi
bangsa yang senang belanja hingga melahirkan tempat semacam mal tumbuh di
mana-mana, hal ini mencerminkan bangsa yang hanya sekedar pemakai terutama
produk luar, tanpa mau belajar menciptakan barang itu sendiri dengan standar
luar. Sikap perilaku kebebasan yang melekat di kalangan remaja dewasa ini
membuat generasi yang terlahir menjadi generasi yang rusak secara moral.
3. Penyelewengan Sila Ketiga dari Pancasila
Suatu rintangan Implementasi
dari Sila Ketiga Pancasila adalah Tergoresnya rasa nasionalisme bangsa
Indonesia dari sikap generasi muda yang cenderung mengaplikasikan kebudayaan
luar dalam aktifitas kehidupan dibandingkan dengan kebudayaan Indonesia itu
sendiri.
Kenyataan ini tak lepas dari gencarnya arus globalisasi yang menerjang segala
penjuru dunia dalam intensitas tinggi tanpa dibekali dengan idealisme yang kuat
dari bangsanya, hingga budaya yang datang lalu masuk ke dalam jiwa sampai terbentuknya
menjadi jatidiri baru yang mencerminkan hidup kebarat-baratan pada generasi
muda saat ini. Dari sinilah cinta tanah air mulai pudar didalam dirinya, didalam sila ketiga dari ”Pancasila itu sendiri sudah memberikan
bahwa nilai Persatuan Indonesia dapat terbentuk dan diwujudkan dalam tiga
konteks yang saling menyatu dan mengikat satu sama lainnya dalam membangun
persatuan dan eksistensi sebagai bangsa yang kuat, diantaranya konteks psikologis,
konteks sosial-politik dan konteks geografis” (Redi Panuju, 2011).
Kenyataan ini
menegaskan secara konteks psikologis memberikan makna bahwa persatuan bangsa
dapat terwujudkan bila masing-masing warga negara merasa mendapatkan perlakuan
yang sama dalam hukum dan pemerintahan, perlakuan yang sama lebih ditegaskan
lagi pada illustrasi seperti dalam mengakses sumber-sumber kehidupan, misalnya
memperoleh pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan, mendapatkan perlindungan
hukum dan yang lainnya. Terhapusnya diskriminasi antar warga negara, sehingga
tidak ada lagi penggolongan kelas warga negara antara kelas tinggi dan kelas rendah antara kelas
priyayi atau darah biru dan rakyat miskindan antara pendidikan tinggi dan pendidikan rendah. Demikian juga dalam
konteks sosial-politik makna persatuan bisa terwujudkan dengan baik jika setiap
warga negaranya turut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan sosial
masyarakat, bergaul pada semua golongan hingga terciptanya kerukunan warga
tanpa membeda-bedakan suku, agama serta status sosial. Setiap warga negara
dituntut untuk berpartisipasi dalam kehidupan berdemokrasi tanpa ada unsur
paksaan antar sesamanya. Nilai kesadaran dari setiap warga negara sangat
berarti dan turut menentukan keberhasilan dari terwujudnya demokratisasi bangsa
demi berjalannya roda pemerintahan yang melindungi setiap warganya. Sedangkan
konteks geografis menggambarkan atas tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau NKRI dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga bentuknya.
Setiap warga negara dituntut untuk mencintai kepada negaranya dalam situasi dan
kondisi apapun juga dan bukan sekedar hanya ucapan atau slogan belaka,
melainkan dengan suatu tindakan yang nyata dalam kehidupan. Karena ini bukan hanya tanggung jawab dari TNI saja, tetapi seluruh
warga negara Indonesia. Hal ini bisa terjadi dari kuatnya pengaruh globalisasi yang tak bisa
terbendungkan lagi dengan membawa Faham-faham barat telah menerjang negeri ini. Dikarenakan tidak
dibentengi dengan kuatnya ideologi bangsa pada setiap warga negara, akhirnya
berdampak pada pudarnya nilai-nilai budaya Indonesia yang mencerminkan sikap
tolong menolong antar sesamanya, nilai gotong royong, tegang rasa. Demikian juga dalam
konteks sosial politik, sebagian besar masyarakat tak mau lagi mempedulikannya dan munculnya
sikap apatis masyarakat kehidupan demokratisasi di Indonesia, dikarenakan tidak banyak berpihak
kepadanya ditambah lagi faktor atas penyelenggaraannya yang kurang sportifitas
dari para peserta pemilu. Penyimpangan yang terjadi di masyarakat adalah
banyaknya masyarakat di negeri ini yang bersikap tidak memandang lagi etika membuat pudarnya rasa persatuan di
Indonesia sehingga menimbulkan kekacauan sesamanya melalui tawuran pelajar,
mahasiswa bahkan masyarakat umum sehingga negara menjadi kacau balau. Demikian
dalam menjalankan hukum, hukum pada kenyataannya dipermainkan oleh orang yang
punya uang sehingga muncul mafia hukum di Indonesia.
4. Penyelewengan Sila Keempat dari Pancasila
Suatu penyelewengan Implementasi
dari Sila Keempat Pancasila adalah Banyaknya keputusan dari penyelenggara
negara tidak berpihak pada kepentingan orang banyak, tetapi lebih berpihak pada
kepentingan kelompok atau partai pemenang pemilu. Demikian juga dalam
memutuskan suatu permasalahan yang menyangkut kehidupan orang banyak dimana
diharapkan terjadi suatu kemufakatan, namun dalam implementasinya penuh dengan
intrik-intrik tertentu dalam pola kerjanya dan bekerjasama memperhitungkan bagi hasil sesamanya
hingga menimbulkan suatu silang pendapat dan dengan demikian hasil akhir akan
diperebutkan melalui pengambilan suara terbanyak. Kata musyawarah mufakat
disini hanya sebagai kedok dalam berkonstitusi belaka. Penggambaran sila
keempat ini sebenarnya telah memberikan penjelasan bahwa tafsir implementasi
operasionalnya telah diarahkan pada bagaimana seluruh sumber daya yang tersedia
itu, dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk pemberdayaan dan kemakmuran
rakyat. Kata hikmah dan kebijaksanaan mempunyai dimensi makna sebagai
masyarakat yang mampu menarik pelajaran hingga pada akhirnya mendapatkan sesuatu yang
bermanfaat bahkan sebagai pandangan sekaligus sebagai tindakan atas nilai-nilai
luhur bangsa ke dalam suatu kehidupan. Kata kebijaksanaan memberikan gambaran
agar kita selalu bersikap bijak dalam bermasyarakat senantiasa bertindak arif
atau tegang rasa antar sesamanya. Sementara Permusyawaratan dan perwakilan
memberikan bayangan bahwa permusyawaratan merupakan pendekatan suatu konsensus
dalam menyelesaikan suatu masalah yang lebih menitik beratkan pada nilai
kebersamaan dalam kemenangan. Hal inilah yang dikemukakan oleh Kaum Marxis bahwa “nilai-nilai yang
menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang
berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa” (John Storey, 2003)
dengan demikian apa yang telah direncanakan dalam pola struktur pengembangannya
itu bisa bergerak dengan leluasa tanpa ada persaingan berati. Cara berpikir orang-orang seperti inilah sebenarnya
yang menyebabkan terpuruknya negeri ini dalam taraf yang memprihatinkan, hingga
rakyat susah hidup di negerinya sendiri yang dikenal berlimpah dengan kekayaan
alamnya itu.
Sila keempat dari Pancasila mengajarkan
kemufakatan dalam membahas suatu permasalahan, kini diwarnai dengan kekisruhan dalam
menjalankan suatu pertemuan hingga menimbulkan suatu ketegangan diakibatkan
masing-masing tidak bisa mengendalikan diri. Bahkan di tingkat lembaga tinggi
negara itu juga diwarnai keributan dalam sidang paripurna.
5.
Penyelewengan Sila Kelima dari Pancasila
Suatu penyelewengan implementasi
dari Sila Kelima Pancasila adalah Berkuasanya kelas-kelas dominan yang
menguasai pengendalian pasar perekonomian Indonesia semakin terpuruknya jalan
perekonomian kerakyatan yang mendukung tumbuhnya industri kecil menengah
semakin suram jalannya. Angan-angan rakyat untuk mendambakan hidup sejahtera
demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan jalan dukungan
terealisasinya perkonomian kerakyatan itu, semakin jauh dari harapan rakyat.
Karena pada kenyataannya kesejahteraan hanya bisa dinikmati sebagian kecil dari
kelompok rakyat yang telah dekat dengan kekuasaan, sehingga orang-orang ini
dengan leluasanya mencampur adukkan antara kepentingan sendiri atau kelompoknya
dengan kepentingan rakyat. Dalam perlakuan hukumpun, rasa ketidak adilan telah terbuka lebar, hukum hanya menyentuh
bagi masyarakat kelas bawah saja yang dipermasalahkan sementara kelas dominan dengan leluasanya
mempermainkan hukum untuk tunduk dan menurut aturan permainan uang sebagai alat
atau senjata dalam menutupi perkaranya. Berbicara masalah keadilan berperannya
hukum dalam kehidupan adalah semu belaka, karena hukum itu sendiri sudah
menjadi alat komoditas bagi mereka-mereka yang serakah dengan kekuasaan.
Perwujudan pada
sila ini sebenarnya memberikan gambaran kepada kita, bahwa para penguasa negeri
ini harus senantiasa bertindak arif untuk memberikan rasa keadilan yang sama
pada seluruh masyarakat Indonesia sebagai mana yang tercantum dalam ideologi
Pancasila yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bagi seluruh warga Republik
Indonesia baik sebagai penyelenggaranya maupun rakyatnya. Lewat tangan pemerintah dengan para
lembaga tinggi negara yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan undang-undang
tidak pilih kasih sesama warga negara, dan harus bertindak tegas pada semua
insan penghuni negeri ini. Suatu contoh untuk mengilustrasikan dalam konteks
hukum, pemberlakukan hukum harus menyentuh pada semua orang yang ada di
Republik ini tanpa pandang bulu. Dalam rangka mengimplementasikannya itu, tidak
ada orang atau kelompok manapun apakah kelas atas atau kelas bawah bahkan kelas, karena dalam Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa semua warga negara sama kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan. Jadi terwujudnya ”cita-cita para pendiri bangsa ini sudah
jelas adalah seluruh tumpah darah bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan lahir
dan batin, sehingga masyarakat tidak ada yang tertekan oleh pihak manapun dan
bisa menikmati kehidupan yang layak, dengan demikian rasa keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia yang diimpikan dapat terwujudkan dengan baik” (Redi Panuju, 2011). Rasa keadilan
selama ini hanya dinikmati oleh kalangan minoritas yang dekat dengan kekuasaan belaka. Kenyataan ini
terbukti dan bukan menjadi suatu rahasia lagi setelah para pelaku tertangkap
dan dihadapkan ke meja hijau dengan tuduhan penyuapan guna melancarkan aksi,
ini berati bahwa hukum di negeri ini telah dimiliki oleh orang-orang yang
mempunyai uang berlimpah. Namun apa yang terjadi, penanganan kasusnyapun mendapat intervensi
dari berbagai macam pihak meskipun hal itu tidak sulit untuk dilacak kebenarannya,
penegakkan hukum dengan berorientasi pada sikap tanpa pandang bulu di negeri
ini, menyebabkan rasa keadilan jauh dari rakyat khususnya masyarakat kecil yang
tidak mengerti hukum. Harapan seluruh rakyat Indonesia keadilan tercipta hingga
masyarakat menikmati arti kemerdekaan dan kemakmuran hidup, tetapi pada
kenyataannya kemiskinan masih juga melanda negeri ini.
C. Penutup
Kekuatan arus
globalisasi yang bergulir di tengah masyarakat hingga saat ini dengan segala
dampaknya, akan terus berhembus seperti
angin yang kencang dan menerjang apa saja yang ada
didepannya. Demikian juga dengan peradaban dari luar akan terus hadir bersamaan
dengan berhembusnya arus globalisasi beserta dampak yang akan ditimbulkannya
itu, akan selalu mengacam kebudayaan kita yang terkenal santun dan penuh makna
ketimuran di bawa tameng Garuda pancasila melalui jejaring cyber multimedia
digital dan akan menembus jiwa-jiwa penggunanya dan tanpa sadar perilaku kita
akan selalu digerogoti oleh faham-faham berbagai multiisme itu dan tanpa
disadari kita terbawa arus olehnya. Kita tidak menutup mata atas datangnya
kebudayaan luar hadir di tengah-tengah kita, namun perlu adanya pengkajian
secara mendalam tentang baik dan buruknya, hal tersebut dikarenakan ideologi
negara yang membedakannya. Hadirnya “Budaya Populer” yang menguasai perilaku
insan bangsa ini dewasa ini adalah sebagai jilmaan atas berkuasanya budaya luar
mempengaruhi dan menguasai jiwa-jiwa bangsa ini yang tak dibentengi dengan
kuatnya ideologi Pancasila di dalam dirinya hingga menghasilkan manusia-manusia yang
berperilaku
diluar kehendak dari makna Pancasila itu sendiri, hingga bangsa ini menjadi
bangsa yang hancur dalam kelakuan dan hasilnya adalah timbulnya penyelewengan terhadap
Ideologi Pancasila yang menjadi pandangan dan pegangan hidup bangsa Indonesia
ini. Dari melencengnya implementasi itu menyebabkan bangsa ini tertimpa krisis
multi dimensi dalam segala macam persoalan yang begitu rumit untuk diluruskan. Persoalan
besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga sekarang ini adalah kurangnya
pembudayaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancsila yang tidak berjalan secara
efektif dan mendasar oleh semua warga Negara yang mengaku dirinya orang
Indonesia. Pancasila dalam hafalan, mayoritas rakyat Indonesia hafal di luar kepala,
pada
kenyataannya keberadaan pancasila kalah pamornya dengan budaya luar yang telah
masuk di negeri ini hingga kalau membahas
Pancasila mereka menganggapnya suatu hal yang kuno,
produk lama, pancasila tidak dapat muncul keberadaannya dalam ruang dan perilaku
yang nyata dari setiap warga negara negeri ini. Keberadaan Pancasila selama ini
hadir hanyalah sebagai tema dan semboyan semata-mata dalam setiap perilaku
kehidupan masyarakat. Kemunculan semangat
kebangsaan itu akan hadir dengan sendirinya, selama
nilai-nilai Pancasila itu dimaknai secara mendalam dan menyerap dalam jiwa dan
raga serta dilaksanakan secara konsisten oleh setiap warga negara Indonesia.
Para pendahulu pendiri bangsa ini telah bertahun tahun mengujinya, kalaupun
selama ini tidak bisa menunjukkan hasilnya dengan sebagaimana mestinya itu,
dikarenakan orang atau para penyelenggara yang mengelolahnya tidak mampu
mengaktualisasikan berdasarkan metodologi secara benar, dan bukan Pancasilanya
yang dipersalahkan. Pragdigma masyarakat selama ini dalam menyikapi Pancasila
selalu bersikap sinis terhadapnya, ini harus diluruskan dan di arahkan ke jalan
yang benar, sehingga penyelenggara Negara dan masyarakat bisa menghayati dan
mengamalkannya secara konsisten agar bangsa ini bisa bangkit kembali dari
keterpurukannya begitu dalam. Sejalan dengan hal itu maka perlu adanya upaya
pembangunan jatidiri bangsa pada setiap warga negara Indonesia, karena
dengan memiliki jatidiri bangsa berlandaskan Pancasila itulah, maka
kemandirian suatu bangsa akan tercipta dengan sendirinya. Kesuksesan
suatu bangsa dalam membangun peradabannya adalah belajar dari kesuksesan bangsa
lain dalam membangun peradabannya itu. Ada suatu istilah bernama “Local Genius”
yaitu kemampuan suatu bangsa untuk menerima kebudayaan bangsa lain, kemudian
disesuaikan dengan kepribadian bangsa itu sendiri hingga melahirkan suatu
kebudayaan baru tanpa menghilangkan jatidiri bangsa itu sendiri.
D. Daftar
Pustaka :Burton, Graeme. 2008. Media dan Budaya Populer. Penyadur: Alfathri Adlin. Yogyakarta: Jalasutra.
Susanto, AB. 2001. Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis. Jakarta: Toko Buku Kompas Media Nusantara.
Rahardi, Kunjana. 2000. Renik-Renik Perabdban. Yogyakarta: Duta Wacana Univercity Press.
Storey, Jonh. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogyakarta: Qalam.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Marlin, Randal. 2002. Propaganda and The Ethics Persuasion.Canada: Broadview Press.
Ellul, Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
Naya Sujana. I Nyoman dan Lasmono Askandar (ed). 2005. Jatidiri Bangsa Indonesia. Surabaya: DHD 45 Jawa Timur.
Panuju, Redi. 2011. Studi Politik Oposisi dan Demokrasi. Yogyakarta : Interprebook
Comments
Post a Comment